MANUSIA, NILAI, MORAL, DAN HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia, nilai, moral, dan hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Dewasa ini masalah-masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan dengan nilai, moral, dan hukum antara lain mengenai kejujuran, keadilan, menjilat, dan perbuatan negatif lainnya sehingga perlu dikedepankan pendidikan agama dan moral karena dengan adanya panutan, nilai, bimbingan, dan moral dalam diri manusia akan sangat menentukan kepribadian individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial dan kehidupan setiap insan. Pendidikan nilai yang mengarah kepada pembentukan moral yang sesuai dengan norma kebenaran menjadi sesuatu yang esensial bagi pengembangan manusia yang utuh dalam konteks sosial.
Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan akademis, tetapi dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Secara umum ada tiga lingkungan yang sangat kondusif untuk melaksanakan pendidikan moral yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat. Peran keluarga dalam pendidikan mendukung terjadinya proses identifikasi, internalisasi, panutan dan reproduksi langsung dari nilai-nilai moral yang hendak ditanamkan sebagai pola orientasi dari kehidupan keluarga. Hal-hal yang juga perlu diperhatikan dalam pendidikan moral di lingkungan keluarga adalah penanaman nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan tanggung jawab dalam segenap aspek.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini membahas sekelumit mengenai manusia, nilai, moral, dan hukum yang mencakup hal-hal berikut;
1.2.1 Manusia, Nilai, Norma dan Moral
1.2.2 Manusia dan Hukum
1.2.3 Hubungan Hukum dan Moral
1.2.4 Problematika Hukum
Makalah ini membahas sekelumit mengenai manusia, nilai, moral, dan hukum yang mencakup hal-hal berikut;
1.2.1 Manusia, Nilai, Norma dan Moral
1.2.2 Manusia dan Hukum
1.2.3 Hubungan Hukum dan Moral
1.2.4 Problematika Hukum
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Manusia, Nilai, Norma dan Moral
Meskipun banyak pakar yang mengemukakan pengertian nilai, namun ada yang telah disepakati dari semua pengertian itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh setiap pakar pada dasarnya adalah upaya dalam memberikan pengertian secara holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian yang “relatif belum tersentuh” oleh pemikir lain.
Definisi yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status
benda, terlihat pada pengertian nilai yang dikemukakan oleh John Dewney yakni,
Value Is Object Of Social Interest, karena ia melihat nilai dari sudut
kepentingannya.
Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari
sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Bagi
manusia nilai dijadikan sebagai landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap
dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.
Nilai itu penting bagi manusia. Apakah nilai itu
dipandang dapat mendorong manusia karena dianggap berada dalam diri manusia
atau nilai itu menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada
objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus
jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam
perbuatan. Menilai dapat diartikan menimbang yakni suatu kegiatan manusia untuk
menghubungkan sesuatu dengan sesuatu lainnya yang kemudian dilanjutkan dengan
memberikan keputusan. Keputusan itu menyatakan apakah sesuatu itu bernilai
positif (berguna, baik, indah) atau sebaliknya bernilai negatif. Hal ini
dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada diri manusia yaitu jasmani, cipta,
rasa, karsa, dan kepercayaan.
Nilai memiliki polaritas dan hirarki, antara lain:
a. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai polaritas seperti baik dan buruk; keindahan dan kejelekan.
b. Nilai tersusun secara hierarkis yaitu hierarki urutan pentingnya.
Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Notonagoro membagi hierarki nilai pokok yaitu:
a. Nilai material yaitu sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
b. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerohanian yaitu sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian terbagi menjadi empat macam:
a. Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau rasio manusia
b. Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan estetis manusia
c. Nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau karsa manusia
d. Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manusia dengan disertai penghayatan melalui akal budi dan nuraninya
Hal-hal yang mempunyai nilai tidak hanya sesuatu yang berwujud (benda material) saja, bahkan sesuatu yang immaterial seringkali menjadi nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia seperti nilai religius.
Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, keinginan, harapan, dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah) manusia. Dengan demikian nilai itu tidak konkret dan pada dasarnya bersifat subyektif. Nilai yang abstrak dan subyektif ini perlu lebih dikonkretkan serta dibentuk menjadi lebih objektif. Wujud yang lebih konkret dan objektif dari nilai adalah norma/kaedah. Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Ada beberapa macam norma/kaedah dalam masyarakat, yaitu:
a. Norma kepercayaan atau keagamaan
b. Norma kesusilaan
c. Norma sopan santun/adab
d. Norma hukum
Dari norma-norma yang ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat karena dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan eksternal).
Nilai dan norma selanjutnya berkaitan dengan moral. Moral berasal dari bahasa latin yakni mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia moral diartikan dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Bisa dikatakan manusia yang bermoral adalah manusia yang sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
2.2 Manusia dan Hukum
Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Nilai memiliki polaritas dan hirarki, antara lain:
a. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai polaritas seperti baik dan buruk; keindahan dan kejelekan.
b. Nilai tersusun secara hierarkis yaitu hierarki urutan pentingnya.
Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Notonagoro membagi hierarki nilai pokok yaitu:
a. Nilai material yaitu sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
b. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerohanian yaitu sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian terbagi menjadi empat macam:
a. Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau rasio manusia
b. Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan estetis manusia
c. Nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau karsa manusia
d. Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manusia dengan disertai penghayatan melalui akal budi dan nuraninya
Hal-hal yang mempunyai nilai tidak hanya sesuatu yang berwujud (benda material) saja, bahkan sesuatu yang immaterial seringkali menjadi nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia seperti nilai religius.
Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, keinginan, harapan, dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah) manusia. Dengan demikian nilai itu tidak konkret dan pada dasarnya bersifat subyektif. Nilai yang abstrak dan subyektif ini perlu lebih dikonkretkan serta dibentuk menjadi lebih objektif. Wujud yang lebih konkret dan objektif dari nilai adalah norma/kaedah. Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Ada beberapa macam norma/kaedah dalam masyarakat, yaitu:
a. Norma kepercayaan atau keagamaan
b. Norma kesusilaan
c. Norma sopan santun/adab
d. Norma hukum
Dari norma-norma yang ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat karena dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan eksternal).
Nilai dan norma selanjutnya berkaitan dengan moral. Moral berasal dari bahasa latin yakni mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia moral diartikan dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Bisa dikatakan manusia yang bermoral adalah manusia yang sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
2.2 Manusia dan Hukum
Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum
yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa
dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang
berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya).
Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang
bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai
“semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang
berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia
membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal
dengan istilah tatanan sosial (social order) yang bernama: masyarakat. Guna
membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka
manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum)
dan si pengatur(kekuasaan).
2.2.1 Tujuan Hukum
Banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut teori-teori dari para ahli :
Banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut teori-teori dari para ahli :
1. Prof. Subekti, SH: Hukum itu mengabdi pada tujuan
negara yaitu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan cara
menyelenggarakan keadilan. Keadilan itu menuntut bahwa dalam keadaan yang sama
tiap orang mendapat bagian yang sama pula.
2. Prof. Mr. Dr. LJ. van Apeldoorn: Tujuan hukum adalah
mengatur hubungan antara sesama manusia secara damai. Hukum menghendaki
perdamaian antara sesama. Dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara
teliti dan seimbang.
3. Geny : Tujuan hukum semata-mata ialah untuk mencapai keadilan. Dan ia kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai unsur dari keadilan.
4. Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law is tool of social engineering).
5. Muchatr Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan pokok dan utama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.
3. Geny : Tujuan hukum semata-mata ialah untuk mencapai keadilan. Dan ia kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai unsur dari keadilan.
4. Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law is tool of social engineering).
5. Muchatr Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan pokok dan utama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.
Tujuan hukum menurut hukum positif Indonesia termuat
dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi “..untuk membentuk suatu
pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi
dan keadilan sosial”.
Pada umumnya hukum bertujuan menjamin adanya kepastian
hukum dalam masyarakat. Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang tidak
menjadi hakim atas dirinya sendiri, namun tiap perkara harus diputuskan oleh
hakim berdasarkan dengan ketentuan yang sedang berlaku.
2.2.2 Penegakan Hukum
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat) apalagi bercirikan negara penjaga malam (nachtwachterstaat). Sejak awal kemerdekaan, para bapak bangsa ini sudah menginginkan bahwa negara Indonesia harus dikelola berdasarkan hukum.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat) apalagi bercirikan negara penjaga malam (nachtwachterstaat). Sejak awal kemerdekaan, para bapak bangsa ini sudah menginginkan bahwa negara Indonesia harus dikelola berdasarkan hukum.
Ketika memilih bentuk negara hukum, otomatis keseluruhan
penyelenggaraan negara ini harus sedapat mungkin berada dalam koridor hukum.
Semua harus diselenggarakan secara teratur (in order) dan setiap pelanggaran
terhadapnya haruslah dikenakan sanksi yang sepadan.
Penegakkan hukum, dengan demikian, adalah suatu kemestian
dalam suatu negara hukum. Penegakan hukum adalah juga ukuran untuk kemajuan dan
kesejahteraan suatu negara. Karena, negara-negara maju di dunia biasanya
ditandai, tidak sekedar perekonomiannya maju, namun juga penegakan hukum dan
perlindungan hak asasi manusia (HAM) –nya berjalan baik.
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Friedmann berpendapat bahwa efektifitas hukum ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:
a. Substansi hukum
Yaitu materi atau muatan hukum. Dalam hal ini peraturan haruslah peraturan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat untuk mewujudkan ketertiban bersama.
b. Aparat Penegak Hukum
Agar hukum dapat ditegakkan, diperlukan pengawalan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang memiliki komitmen dan integritas tinggi terhadap terwujudnya tujuan hukum.
c. Budaya Hukum
Budaya hukum yang dimaksud adalah budaya masyarakat yang tidak berpegang pada pemikiran bahwa hukum ada untuk dilanggar, sebaliknya hukum ada untuk dipatuhi demi terwujudnya kehidupan bersama yang tertib dan saling menghargai sehingga harmonisasi kehidupan bersama dapat terwujud.
Banyak pihak menyoroti penegakan hukum di Indonesia sebagai ‘jalan di tempat’ ataupun malah ‘tidak berjalan sama sekali.’ Pendapat ini mengemuka utamanya dalam fenomena pemberantasan korupsi dimana tercipta kesan bahwa penegak hukum cenderung ‘tebang pilih’, alias hanya memilih kasus-kasus kecil dengan ‘penjahat-penjahat kecil’ daripada buronan kelas kakap yang lama bertebaran di dalam dan luar negeri.
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Friedmann berpendapat bahwa efektifitas hukum ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:
a. Substansi hukum
Yaitu materi atau muatan hukum. Dalam hal ini peraturan haruslah peraturan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat untuk mewujudkan ketertiban bersama.
b. Aparat Penegak Hukum
Agar hukum dapat ditegakkan, diperlukan pengawalan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang memiliki komitmen dan integritas tinggi terhadap terwujudnya tujuan hukum.
c. Budaya Hukum
Budaya hukum yang dimaksud adalah budaya masyarakat yang tidak berpegang pada pemikiran bahwa hukum ada untuk dilanggar, sebaliknya hukum ada untuk dipatuhi demi terwujudnya kehidupan bersama yang tertib dan saling menghargai sehingga harmonisasi kehidupan bersama dapat terwujud.
Banyak pihak menyoroti penegakan hukum di Indonesia sebagai ‘jalan di tempat’ ataupun malah ‘tidak berjalan sama sekali.’ Pendapat ini mengemuka utamanya dalam fenomena pemberantasan korupsi dimana tercipta kesan bahwa penegak hukum cenderung ‘tebang pilih’, alias hanya memilih kasus-kasus kecil dengan ‘penjahat-penjahat kecil’ daripada buronan kelas kakap yang lama bertebaran di dalam dan luar negeri.
Pendapat tersebut bisa jadi benar kalau penegakan hukum
dilihat dari sisi korupsi saja. Namun sesungguhnya penegakan hukum bersifat
luas. Istilah hukum sendiri sudah luas. Hukum tidak semata-mata peraturan
perundang-undangan namun juga bisa bersifat keputusan kepala adat. Hukum-pun
bisa diartikan sebagai pedoman bersikap tindak ataupun sebagai petugas.
Dalam suatu penegakkan hukum, sesuai kerangka Friedmann,
hukum harus diartikan sebagai suatu isi hukum (content of law), tata laksana
hukum (structure of law) dan budaya hukum (culture of law). Sehingga, penegakan
hukum tidak saja dilakukan melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana
memberdayakan aparat dan fasilitas hukum. Juga, yang tak kalah pentingnya
adalah bagaimana menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk
penegakan hukum.
Contoh paling aktual adalah tentang Perda Kawasan Bebas
Rokok misalnya. Peraturan ini secara normatif sangat baik karena perhatian yang
begitu besar terhadap kesehatan masyarakat. Namun, apakah telah berjalan
efektif? Ternyata belum. Karena, fasilitas yang minim, juga aparat penegaknya
yang terkadang tidak memberikan contoh yang baik. Sama halnya dengan masyarakat
perokok, kebiasaan untuk merokok di tempat-tempat publik adalah suatu budaya
yang agak sulit diberantas.
Oleh karenanya, penegakan hukum menuntut konsistensi dan
keberanian dari aparat. Juga, hadirnya fasilitas penegakan hukum yang optimal
adalah suatu kemestian. Misalnya, perda kawasan bebas rokok harus didukung
dengan memperbanyak tanda-tanda larangan merokok, atau menyediakan ruangan
khusus perokok, ataupun memasang alarm di ruangan yang sensitif dengan asap.
Masyarakatpun harus senantiasa mendapatkan penyadaran dan
pembelajaran yang kontinyu. Maka, program penyadaran, kampanye, pendidikan,
apapun namanya, harus terus menerus digalakkan dengan metode yang partisipatif.
Karena, adalah hak dari warganegara untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan
yang tepat dan benar akan hal-hal yang penting dan berguna bagi kelangsungan
hidupnya.
2.2.3 Hubungan Hukum dan Moral
Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma yang mengatakan “quid leges sine moribus?” (apa artinya undang-undang jika tidak disertai moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Disisi lain moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja kalau tidak di undangkan atau di lembagakan dalam masyarakat.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya ‘mungkin’ ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum.
Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum tampak kosong dan hampa (Dahlan Thaib,h.6). Namun demikian perbedaan antara hukum dan moral sangat jelas.
Perbedaan antara hukum dan moral menurut K.Berten :
1. Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki kepastian dan objektif dibanding dengan norma moral. Sedangkan norma moral lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak ‘diganggu’ oleh diskusi yang yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap utis dan tidak etis.
2. Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang.
3. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan,pelanggar akan terkena hukuman. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dibidang moralitas hanya hati yang tidak tenang.
4. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum itu harus di akui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum.moralitas berdasarkan atas norma-norma moral yang melebihi pada individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tapi masyarakat tidak dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.
Sedangkan Gunawan Setiardja membedakan hukum dan moral :
1. Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan hukum alam sedangkan moral berdasarkan hukum alam.
2. Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar diri manusia), sedangkan moral bersifat otonom (datang dari diri sendiri).
3. Dilihat dari pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat dipaksakan,
4. Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. moral berbentuk sanksi kodrati, batiniah, menyesal, malu terhadap diri sendiri.
5. Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.
6. Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu (1990,119).
2.2.4 Problematika Hukum
Problema paling mendasar dari hokum di Indonesia adalah manipulasi atas fungsi hokum oleh pengemban kekuasaan. Problem akut dan mendapat sorotan lain adalah:
a. Aparatur penegak hukum ditengarai kurang banyak diisi oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Padahal SDM yang sangat ahli serta memiliki integritas dalam jumlah yang banyak sangat dibutuhkan.
b. Peneggakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sering mengalami intervensi kekuasaan dan uang. Uang menjadi permasalahan karena negara belum mampu mensejahterakan aparatur penegak hukum.
c. Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum semakin surut. Hal ini berakibat pada tindakan anarkis masyarakat untuk menentukan sendiri siapa yang dianggap adil.
d. Para pembentuk peraturan perundang-undangan sering tidak memerhatikan keterbatasan aparatur. Peraturan perundang-undangan yang dibuat sebenarnya sulit untuk dijalankan.
e. Kurang diperhatikannya kebutuhan waktu untuk mengubah paradigma dan pemahaman aparatur. Bila aparatur penegak hukum tidak paham betul isi peraturan perundang-undangan tidak mungkin ada efektivitas peraturan di tingkat masyarakat.
Problem berikutnya adalah hukum di Indonesia hidup di dalam masyarakat yang tidak berorientasi kepada hukum. Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai representasi dan simbol negara yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Contoh kasus adalah kasus ibu Prita Mulyasari.
Pekerjaan besar menghadang bangsa Indonesia di bidang hukum. Berbagai upaya perlu dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan dapat merasakan apa yang dijanjikan dalam hukum.
Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma yang mengatakan “quid leges sine moribus?” (apa artinya undang-undang jika tidak disertai moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Disisi lain moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja kalau tidak di undangkan atau di lembagakan dalam masyarakat.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya ‘mungkin’ ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum.
Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum tampak kosong dan hampa (Dahlan Thaib,h.6). Namun demikian perbedaan antara hukum dan moral sangat jelas.
Perbedaan antara hukum dan moral menurut K.Berten :
1. Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki kepastian dan objektif dibanding dengan norma moral. Sedangkan norma moral lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak ‘diganggu’ oleh diskusi yang yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap utis dan tidak etis.
2. Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang.
3. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan,pelanggar akan terkena hukuman. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dibidang moralitas hanya hati yang tidak tenang.
4. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum itu harus di akui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum.moralitas berdasarkan atas norma-norma moral yang melebihi pada individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tapi masyarakat tidak dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.
Sedangkan Gunawan Setiardja membedakan hukum dan moral :
1. Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan hukum alam sedangkan moral berdasarkan hukum alam.
2. Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar diri manusia), sedangkan moral bersifat otonom (datang dari diri sendiri).
3. Dilihat dari pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat dipaksakan,
4. Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. moral berbentuk sanksi kodrati, batiniah, menyesal, malu terhadap diri sendiri.
5. Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.
6. Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu (1990,119).
2.2.4 Problematika Hukum
Problema paling mendasar dari hokum di Indonesia adalah manipulasi atas fungsi hokum oleh pengemban kekuasaan. Problem akut dan mendapat sorotan lain adalah:
a. Aparatur penegak hukum ditengarai kurang banyak diisi oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Padahal SDM yang sangat ahli serta memiliki integritas dalam jumlah yang banyak sangat dibutuhkan.
b. Peneggakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sering mengalami intervensi kekuasaan dan uang. Uang menjadi permasalahan karena negara belum mampu mensejahterakan aparatur penegak hukum.
c. Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum semakin surut. Hal ini berakibat pada tindakan anarkis masyarakat untuk menentukan sendiri siapa yang dianggap adil.
d. Para pembentuk peraturan perundang-undangan sering tidak memerhatikan keterbatasan aparatur. Peraturan perundang-undangan yang dibuat sebenarnya sulit untuk dijalankan.
e. Kurang diperhatikannya kebutuhan waktu untuk mengubah paradigma dan pemahaman aparatur. Bila aparatur penegak hukum tidak paham betul isi peraturan perundang-undangan tidak mungkin ada efektivitas peraturan di tingkat masyarakat.
Problem berikutnya adalah hukum di Indonesia hidup di dalam masyarakat yang tidak berorientasi kepada hukum. Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai representasi dan simbol negara yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Contoh kasus adalah kasus ibu Prita Mulyasari.
Pekerjaan besar menghadang bangsa Indonesia di bidang hukum. Berbagai upaya perlu dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan dapat merasakan apa yang dijanjikan dalam hukum.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manusia, nilai, moral dan hukum adalah suatu hal yang saling berkaitan dan saling menunjang. Sebagai warga negara kita perlu mempelajari, menghayati dan melaksanakan dengan ikhlas mengenai nilai, moral dan hukum agar terjadi keselarasan dan harmoni kehidupan.
3.2 Saran
Penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan dan kepastian hukum. Karena, tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya keadilan (justice), kepastian hukum (certainty of law), dan kesebandingan hukum (equality before the law).
Penegakan hukum-pun harus dilakukan dalam proporsi yang
baik dengan penegakan hak asasi manusia. Dalam arti, jangan lagi ada penegakan
hukum yang bersifat diskriminatif, menyuguhkan kekerasan dan tidak sensitif
jender. Penegakan hukum jangan dipertentangkan dengan penegakan HAM. Karena,
sesungguhnya keduanya dapat berjalan seiring ketika para penegak hukum memahami
betul hak-hak warga negara dalam konteks hubungan antara negara hukum dengan
masyarakat sipil.
DAFTAR PUSTAKA
http://grms.multiply.com/journal/item/26
http://bambang1988.wordpress.com/2009/04/13/manusia-nilai-moral-dan-hukum/
http://hanstoe.wordpress.com/2009/02/21/problematika-nilai-moral-dan-hukum-dalam-masyarakat/
http://herususetyo.multiply.com/journal/item/9
Juanda, dkk. 2010. Bahan Ajar Ilmu Sosial dan Budaya
Dasar. Jakarta: UNJ.
0 komentar to Makalah ISBD Manusia, Nilai, Moral dan Hukum